HAKIM PINANDITA
Oleh
H. Sarman Mulyana
HAKIM PINANDITA
Oleh
H. Sarman Mulyana
Hakim di seluruh belahan bumi mendapat tempat yang terpandang, terhormat, bahkan dikatakan mulia. Namun, sisi gelap kehidupan mereka sering muncul atau sengaja dimunculkan dalam pembicaraan, berupa adanya perbuatan mengesalkan, menyebalkan, kotor, nista, memuakkan, dan atau menjijikkan. Bahkan sepertinya tuduhan negatif sengaja diperdengarkan di setiap saat dan tempat. Hal ini, dari satu sisi memberi gambaran seakan masyarakat sudah tidak melihat lagi kemilau sifat Hakim yang terpancar dari “Panca Dharma Hakim” yakni kartika, cakra, candra, sari dan tirta. Dari sisi lain, memberi gambaran kerinduan masyarakat untuk menemukan dan bertemu dengan Hakim yang senantiasa mengedepankan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mampu memusnahkan segala kebathilan, kelaliman, ketidak adilan, memiliki sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela, serta jujur. Di celah kondisi sedemikian itu, kita yakin masih banyak Hakim yang benar-benar menjunjung luhur profesinya.
Tentu saja lontaran ejekan, gunjingan, atau tuduhan serupa tadi tidak boleh menyurutkan langkah bila Hakim merasa pada dirinya benar-benar bersemayam niat, tekad, perbuatan, dan dedikasi yang menjunjung tanggung jawab profesi. Begitu pula bagi orang yang berminat ingin menggeluti dunia hukum, semua itu tidak boleh menyurutkan niat membaktikan diri di bidang hukum. Bagi orang yang merasa gunjingan, atau tuduhan adalah memang benar dan dia pernah melakukan hal itu, hendaknya segera mawas diri, kembali kepada koridor agama, perundang-undangan dan etika profesi. Hati nurani yang terdalam pasti masih menyadari bahwa perbuatan baik, benar, luhur, atau terpuji akan membuahkan kebaikan, sedangkan perbuatan buruk, jahat, atau aniaya akan berakibat penderitaan.
Bila saja aparat penegak hukum berbuat sesuai koridor hukum, masyarakat tidak akan melontarkan tuduhan yang keji, meskipun belum tentu mengacungkan ibu jari. Sebaliknya, perbuatan sewenang-wenang meskipun bersembunyi di balik kewenangan akan menuai cercaan, dan diikuti gelombang hinaan.
Sebait syair berbahasa arab mengungkapkan
كَرِيْمٌ مَتَى اَمْدَحْهُ اَمْدَحْهُ وَاْلوَرَى، وَإِذَا مَالُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِىْ
Kariimun mataa amdahu, amdahu wal waro, wa idzaa maa lumtuhuu, lumtuhuu wahdii.
Kala aku memuji seseorang yang mulia, orang lain pun ikut pula memujinya. Tapi sewaktu aku menghinanya, aku sendiri saja yang menghinakannya, orang lain tidak turut serta.
Keputusan untuk berbuat baik dan benar, keputusan untuk melakukan perbuatan mulia, luhur, terpuji, atau perbuatan berguna sangat tergantung pada pribadi masing-masing, termasuk kita dan para Hakim. Demikian pula keputusan untuk melakukan perbuatan yang menyalahi aturan, perbuatan aniaya, jahat, nista, buruk, atau perbuatan sia-sia, tergantung dirinya sendiri. Bahkan mata petindak dengan penglihatannya, telinga dengan pendengarannya, dan akal dengan pemikirannya telah turut serta dalam pengambilan keputusan itu. Dengan demikian pantas pertanggungjawaban pun adalah mandiri, karena semua pilihan untuk berbuat dilakukan atas putusan hatinya sendiri. Pertanggungjawaban yang mandiri bukan sekedar secara duniawi, tapi juga sampai di hadapan Hakim Yang Maha Adil.
Al Quran menyatakan
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا* إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا*
Inna kholaqnal insaana min nuthfatin amsaajin nabtaliihi fa ja’alnaahu samii’am bashiiro. Innaa hadainaahus sabiila immaa syaakirow wa immaa kafuuroo.
Maksudnya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur antara benih lelaki dengan perempuan yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukan kepadanya jalan yang lurus, tetapi manusia itu ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Q. S. 76; Al Insan 2-3)
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
Kullu nafsim bimaa kasabat rohiinah.
Maksudnya:
Tiap-tiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya (Q.S. 74 Al Muddats-tsir 37).
Kita semua menyadari bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan menyukai kebaikan. Tapi perbuatannya mencampakan kehormatan dan kemuliaan dirinya hingga berada di bawah penghargaan terhadap seekor binatang, atau lebih rendah lagi dari itu. Munculah umpatan yang tidak enak didengar karena mempersonifikasikan manusia dengan babi, buaya, monyet, kapal keruk atau ungkapan lain yang terasa sangat keji didengar oleh orang yang masih memiliki jiwa mulia. Semua adalah buah dari perbuatan diri sendiri, ngunduh wohing pakarti. Alloh SWT yang Maha Penyayang, Maha Pemberi Taubat pun tidak menyukai manusia yang dalam menentukan keadilan didasarkan pada hawa nafsu, tapi Tuhan tidak buta terhadap orang yang berada di jalan-Nya .
Dua sabda dari Hadis Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan dua ayat dari Alloh SWT berikut ini perlu kita renungkan dalam keheningan diri.
إِنَّ اللهَ مَعَ اْلقَاضىْ مَا لَمْ يَجُرْ،فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَيْطَانُ
Innallooha ma’al qoodhii maa lam yajur, fa idza jaaro takhollaa wa lazimahusy syaithoonu.
Sesungguhnya Alloh SWT menyertai para Hakim selama Hakim itu tidak menyimpang dari kebenaran. Apabila Hakim itu telah berbuat curang maka Alloh SWT pun menjauhkan diri-Nya dari Hakim itu lalu mulailah syetan menjadi temannya yang rapat.
مَامِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ عَزَّوَجَلَّ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ رَعِيَّتَهُ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ تَعَالى عَلَيْهِ اْلجَنَّةُ
Maa min ‘abdin yastar’iihil laahu ‘azza wa jalla ro’iyatan yamuutu yauma yamuutu wa huwa ghoosyun ro’iyatahuu illaa harromal loohu ta’aalaa ‘alaihiil jannatu.
Tidak ada seseorang hamba Alloh yang oleh Alloh diserahi sesuatu urusan rakyat, yang dia mati dalam keadaan mengicuh rakyat, melainkan Alloh mengharamkan baginya Surga.
Alloh SWT berfirman
فَلاَتَتَّبِعُوااْلهَوى أَنْ تَعْدِلُوْا
Falaa tattabi’ul hawaa an ta’diluu
Maka janganlah kamu sekalian mengikuti hawa nafsumu sehingga kalian tidak lagi bisa berbuat adil. (Q.S. 4 An Nisa 135)
وَََلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu mencampur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah pula kamu menyembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (Q.S. 2; Al Baqoroh 42)
Semoga kita semakin membuka mata hati dan tergerak untuk bangkit mempertinggi kehendak menjadi Hakim yang baik, jujur, benar, adil, konsekwen dan konsisten mengibarkan irah-irah “Demi Keadailan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Posting pada tanggal : 2 Desember 2024 | Admin